Menyesal Menikah!!!

"tau gini aku gak usah nikah dulu" 

Hallo jiwa-jiwa yang pura-pura ketawa padahal terluka? Pernah ngerasain hal seperti ini? 

Belakangan ini, sekitar dua bulan terakhir aku ngerasa patah hati atas pernikahan aku yang tahu ini menginjak usia pernikahan 2 tahun, ini bukan soal ketidakcocokan, karena aku sangat bahagia bisa punya pendamping hidup yang legal, halal, bisa jadi tabungan ibadah, dan ya sebetapa beruntungnya aku bisa hidup bersama orang yang cinta sama aku, sayang sama aku, tahu banget aku "boroknya" kaya apa, betapa beruntungnya aku dikelilingi orang-orang di sekitarnya yang nganggap aku gak seperti orang lain saat pertama bertemu, semua tentangnya dan sekelilingnya teramat indah. Lalu apa yang terjadi? 

Ini soal kekalahan dan ketidakpercayadirian aku untuk menghadapi hidup yang ternyata tidaklah mudah untuk menjadi anak sulung. Semenjak Bapak tiada, tahun 2003, aku belum pernah menangis tiap ke makam bapa, sekalipun rindu aku gak pernah sampai nangis yang berlebihan, tapi semenjak lulus kuliah tahun 2016, rasa rindu ke Bapa itu tiba-tiba levelnya naik, tiap mengingatnya pasti meneteskan air mata, sampai kemarin terakhir sebelum puasa, didepan makamnya aku pertama kalinya nangis di depan makam bapa, posisi tangan masih mengadah, setelah berdoa aku berkata " pa, maaf aku gagal, aku gak bisa, semuanya kenapa jadi terasa berat, impian aku dulu saat kecil untuk membahagiakan orang tua seakan semuanya sirna, dengan segala keterbatasanku, aku pikir dengan aku hidup mandiri, itu sudah cukup, tuntas sudah kewajibanku menjadi seorang anak, tapi ternyata tidak, dan saat aku memutuskan menikah dengan orang yang aku cintai, aku pun ternyata tak bisa membahagiakan siapapun, aku seperti mencari perlindungan, seolah lepas dari tanggung jawab, cuci tangan dari tugasku sebagai seorang anak" *nafasku terasa sesak* kemudian aku tersadar setelah aku berkata " kenapa bapak harus pergi, coba saja bapak gak pergi", seketika aku tersadar, kenapa aku menjadi menyalahkan keadaan, karena ketidakmampuanku. 

Sebagai anak sulung tentunya punya kewajiban istimewa, dan selama ini aku selalu gagal untuk menjadi anak yang berbakti dan membahagiakan orangtua, orangtuaku satu-satunya, Ibu. Selalu menjawab keluh kesahnya dengan "tak bisa", sekalipun bisa membantu, ya aku tak pernah sepenuhnya dapat membantunya. Ada yang berkata karena aku boros, gaya hidupku tak terbatasi, demi apapun aku nelangsa, karena selama ini aku selalu mencoba bekerja keras, walaupun memang aku selalu saja belum sampai menjadi apa yang orangtuaku impikan. 

Terkadang, saat aku harus pulang larut malam, pulang pagi hari, berangkat pagi pulang pagi, aku selalu menatap suamiku sesampainya di rumah, berkali-kali aku bilang " harusnya kamu punya istri bukan kaya aku, kamu berhak bahagia, tepatnya dibahagiakan", untuk membahagiakannya aku bukan jagonya, sesampai rumah pasti aku tertidur, seharian di rumah, aku sibuk dengan aktifitasku, sekalinya bersama dan berdekatan pasti kalau ada salah satu yang sedang demam, bahkan pernah seminggu hanya sedikit berbicara karena kesibukanku yang entah apa hahah. 

Wajar jika ada yang berkata, kemana hasilnya kesibukanku selama ini, aku tak bisa menjawab, karena tak mungkin juga kujelaskan, pada intinya aku pun punya kebutuhan. Jika ada yang berkata aku sering foya-foya, aku patah hati jika mendengar hal itu, makan di luar sesekali, jalan ke luar kota bersama mas jarang sekali, karena aku berhati-hati aku tak ingin ada yang tersakiti, aku tak ingin ada anggapan " tuh buat seneng-seneng aja bisa" seakan mengiyakan bahwa menikah adalah cuci tangan dari tugas seorang anak. 

Aku saat ini sangat-sangat tidak percaya diri, aku selalu iri jika ada anak yang bisa membahagiakan orangtuanya dengan sangat, bahkan saat kemarin aku menyaksikan keluarga Halilintar patungan mobil untuk hadiah orangtuanya, disitu aku ngerasa sakit sekali, aku merasa payah, mereka semuanya kompak membahagiakan. Materi yang ada ditumpahkan hanya untuk kebahagiaan orangtua, dan itu sangat berbanding terbalik dengan aku saat ini. 

Selalu terdengar dalam diriku bahwa " orangtua selalu berkorban untuk anaknya, tapi anak belum tentu mau berkorban untuk orangtuanya,  1 orangtua dapat membahagiakan 7 orang anak dalam satu waktu, sedangkan 7 orang anak belum tentu bisa membahagiakan orangtuanya dalam satu waktu", sambil menangis aku memeluk mas  " mas tahu gitu aku jangan nikah dulu, aku harusnya selesaikan dulu tugas aku, sampai kaya keluarga halilintar, kenapa aku harus nikah dulu" .. 

Yah, tapi ini namanya hidup, tak perlu aku menyeseli kenapa harus menikah sebelum sukses, ini hanya soal waktu, apakah aku dapat melewati ujian kehidupan yang diberi Tuhan dengan baik? Jika hasilnya baik, aku dapat dua penghargaan sekaligus, yaitu  anak yang baik, berbakti, sekaligus seorang istri yang baik dan patuh terhadap suami. Walaupun itu entah kapan akan terjadi ')) 

Komentar

  1. Terharu bacanya :'( gaperlu disesali mba, semua manusia memiliki jalan hidup sendiri, biarin kata orang apa krn yg tau hanya orang" terdekat kita, tetep semangat mba novita selalu ceria. Tetap bersyukur atas apa yg sudah dicapai & selalu melihat kebawah, doakan bapak setiap setelah sholat kadang lulu juga ngerasain bagaimana menyalahkan keadaan tp apapun yg terjadi semua sudah diatur. :)

    BalasHapus
  2. Terharu bacanya :'( gaperlu disesali mba, semua manusia memiliki jalan hidup sendiri, biarin kata orang apa krn yg tau hanya orang" terdekat kita, tetep semangat mba novita selalu ceria. Tetap bersyukur atas apa yg sudah dicapai & selalu melihat kebawah, doakan bapak setiap setelah sholat kadang lulu juga ngerasain bagaimana menyalahkan keadaan tp apapun yg terjadi semua sudah diatur. :)

    BalasHapus

Posting Komentar